Rabu, 02 Juli 2025

Merindukan Menjadi Diri Sendiri

Dear diary-nya Rey,

Jam-jam rawan nih buat saya, pukul 21.24 and still counting. Biasanya jam segini harap-harap cemas menanti telpon.

Kadang saya udah menyiapkan hati untuk tidak mengangkat telponnya, lalu ketika telpon berdering, ya elah lupa semuanya.

Kadang juga kecewa, karena nyatanya nggak ada telpon, mungkin dia kelelahan dan nggak sempat telpon. 

Tapi sekarang udah nggak berharap lagi, eh maksudnya udah menyiapkan hati kalau telpon tak berdering lagi.

Ini mungkin butuh waktu yang sayapun nggak tahu sampai berapa lama. Tapi tak mengapa, semua akan berlalu, meski jujur ini terasa menyedihkan.

Tapi tak mengapa, semua adalah perjalanan hidup, memberikan banyak pelajaran berarti.

Btw, saya bahkan sebenarnya pengen menceritakan hal-hal dan perasaan yang saya lalui hari ini. Sejujurnya hari ini penuh air mata, saya merasa sedikit (atau banyak) depresi dengan kehidupan hingga hari ini.

Udah tanggal 2 Juli, dan saya masih aja stuck di sini, nggak bisa ke mana-mana, stres juga dengan kondisi rumah.

Jujur saya mulai merindukan Surabaya, bahkan berulang kali menepis rasa sesal, mengapa saya menerima tawaran untuk pulang.

Ya mungkin karena semuanya tak berjalan sesuai rencana, di mana saya setuju balik ke Buton karena dijanjikan akan bisa bekerja di sebuah perusahaan dekat rumah ortu. Nyatanya kan perusahaannya malah tutup.

Kakak saya sih nggak berhenti berusaha mencarikan jalan keluar, dengan cara mencarikan lowongan kerja di tempat-tempat yang memungkinkan.

Lucky me, saya punya banyak kemauan dan kemampuan, jadi lingkupnya lebih luas, meski agak deg-degan dengan masalah usia. 

Sayangnya, kepulangan saya ini sepertinya memang kurang tepat momennya. Saya pulang di saat ekonomi negara ini sedang kacau balau, presiden memutuskan efisiensi di mana-mana. Jadinya bukan hanya saya kesulitan mencari pekerjaan apapun, bahkan kakak saya pun kehilangan sumber pemasukan lain yang dulu banyak dia terima.

Karena itulah, dia kesulitan untuk bisa terus membantu saya.

Sementara itu, pemasukan saya sebagai blogger bisa dibilang sepi se sepi-sepinya. Menyedihkan sekali, jangankan mau bayar hutang, bahkan rekening saya sepi dan kosong, bikin sedih banget dah.

Di sisi lain, mama yang sensitif bikin saya makin stres, karena saya merasa stres bahkan mendekati depresi, saya jadi mengurung diri di kamar, sering sulit menahan emosi pada anak-anak, eh ujungnya mama tersinggung.

Kesal karena saya nggak pernah keluar kamar selain mau masak, mandi dan nyuci.

Ya pegimana lagi, saya enggak gila aja, udah syukur loh. Tapi mama mana paham hal itu. Jadilah dia juga sibuk berkurung di kamar, nggak mau makan makanan yang saya masakin, malah milih masak sendiri lagi.

Jadilah saya seharian penuh air mata, kesal, sedih, stres, sampai mikir gimana caranya bisa pergi dari rumah ini.

Berdoa dengan sangat-sangat agar bisa diizinkan Allah segera dapat kerja, dan bisa ngekos di luar.

Saya butuh menyendiri, banyak hal yang ingin saya resapi dalam diam. Sebelum kepala saya semakin berat oleh banyaknya pikiran yang mengganggu.

Saya meninggalkan orang yang akhir-akhir ini terasa menjadi sosok penyemangat, demi Allah. Tapi dengan kejadian mama tersinggung, saya kok merasa kayak ada hambatan lagi yang bikin Allah nggak mau bantuin saya untuk bisa lebih baik, karena menyakiti hati mama.

Ya Allaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh.

Kau yang Maha Mengerti, apa yang saya rasakan saat ini.

Memang benar kata orang, anak yang tinggal dekat ortu adalah anak yang paling banyak berdosa. Makanya dulu tuh aslinya sedikitpun nggak pernah terpikirkan untuk saya kembali ke Buton, kalaupun ke Buton cuman buat jenguk mama dan kakak saja.

Tapi ketika mama menyuruh pulang, dan menjanjikan pekerjaan di sini, jujur saya nggak tahu gimana caranya menolak, saya takut kualat.

Sekarang aja saya sungguh capek dan bosan mendengar perkataan mereka,

"Kamu sih nanti tua baru pulang, nyesal kan sekarang?"

"Kamu sih dulu menolak si Anu, sekarang nyesal kan?"

Padahal kalai dipikir-pikir, saya tak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, karena toh selama di Surabaya saya pernah merasakan kebahagiaan loh. Bahkan sampai sebelum pulang ke buton, saya masih tetap punya perasaan bahagia, karena di Surabaya saya bisa menjadi diri sendiri.

Saya nggak menyesal memilih si Ade untuk menjadi pacar dan suami saya, karena dulu dia pernah begitu baik ke saya.

Dibandingnya si Anu, dia nggak ada apa-apanya, meski si Anu punya kerjaan tetap.

Kadang saya merasa si Anu mungkin mengejek saya dengan membanggakan pekerjaannya. Tanpa dia sadari, saya tak pernah merasa menyesal dengan pilihan saya.

Setelah mengenal lebih dekat dengan dia, saya semakin yakin kalau saya beruntung memilih si Ade. Semua di si Ade itu dulunya fit aja gitu sama saya dan yang saya butuhkan. 

Dia meratukan saya, memperlakukan saya seperti segala yang saya butuhkan. Dia mengobati inner child saya tentang sosok banyak orang yang tak pernah saya rasakan sebelumnya.

Dia bisa jadi sebagai kakak saya, pacar saya, suami saya, bahkan semacam menggantikan sosok ayah dan ibu yang tidak terasa merasuk ke jiwa saya sejak kecil.

Dia memperlakukan saya dengan baik, menomor satukan saya. Caranya memperlakukan saya baik sebagai istri maupun rekan hidup tak ada samanya.

Fisiknya pun sesuai dengan yang saya butuhkan, dia tinggi, dia matching dengan saya.

Meskipun pada akhirnya dia berubah, tapi saya tetap merasa kalau saya tak salah memilihnya, dibanding si Anu yang ternyata jauh lebih gengsian, jauh lebih hitung-hitungan.

Ah, begitu banyak yang berkecamuk, kadang bikin saya pengen menjauh dulu dari rumah mama, tapi saya nggak punya tempat tujuan. Makanya saya merindukan Surabaya.

Di masa liburan gini, biasanya saya bisa menikmati istrahat dengan tenang, nggak perlu khawatir dibilang malas karena di kamar mulu.

Saya bisa tidur malam, habis subuh tidur lagi.

Saya bisa skip ke pasar, di mana ini kegiatan yang bikin saya paling kesel.

Saya bisa skip kegiatan dapur, dengan beli bakso atau biarin anak-anak goreng telur aja buat makan.

Di sini nggak bisa, saya harus tetap bangun dan masak apapun yang terjadi, sampai akhirnya kemaren saya udah nggak tahan sampai saya ngomelin anak-anak dan kesal sampai ngomong kalau benci banget dengan dapur.

Karena itulah sepertinya mama tersinggung.

Jujur, saya merasa kakak memang sengaja menyuruh saya jaga mama yang udah lansia, karena dia sendiri kewalahan dengan mama yang sensitif.

Mama nggak bisa makan sembarangan, tapi maunya makan enak. Dia nggak bisa makan makanan yang mengandung garam, tapi dia ngomel kalau masakan nggak enak.

Dia juga kesal kalau saya masak sayur kurang lunak, sementara saya dan anak-anak sejujurnya nggak selera makan sayur terlalu lunak.

Ketika mama tinggal sama kakak, anak dan suaminya sampai merasakan hal yang sama, nggak selera karena sayurnya dan makanan lainnya lunak banget, hambar pula.

Kakak saya nggak punya waktu lebih untuk masak dipisah-pisah.

Ini belum termasuk makanan jajanan, mama meski udah tua tapi suka jajan, jadi anak-anak kayak harus sering berbagi dengan nenek. Tapi kalau anak-anak berbagi dengannya, saya selalu kena damprat, katanya boros, jajan terus.

Akhirnya saya pilih beli jajan sambil sembunyi-sembunyi makannya. Dan dia tahu juga, lalu dia semakin emosi katanya saya udah lah boros, pelit pulak.

Ya Allaaaaaahhhh, boleh nggak saya ngekos aja, sesekali aja saya jenguk mama, sama kayak kakak saya yang sejak saya pulang ke Buton, bahagia banget dia tak perlu sibuk urus mama yang rempong.

Dia bebas kerja dengan nyaman, nggak perlu kepikiran pulang buat masakin mama. Dia yang hanya perlu menelpon saya nanyain tensi mama berapa?. Karena bete nelpon mama kadang moody pas ditanya. 

Kalau dibaca, saya dan kakak semacam bosan urus lansia ya?.

Oh jangan dihujat dulu, kami punya alasan kuat untuk itu, terutama saya ya.

Saya dulu tuh cinta banget sama mama, apa-apa mikirnya mama, sebelum tahun 2021 lalu ketika bapak meninggal.

Ketika itu saya berantem dengan kakak, dan mama diam saja membela kakak. Saya kembali ke Surabaya tanpa dianter, bahkan saya harus nginap 3 atau 4 malam ya di hotel sambil menunggu jadwal pesawat yang tiketnya terjangkau.

Saya ke bandara bertiga sama anak-anak, nggak ada seorang pun yang anter.

Saya masih ingat bagaimana rasanya ketika itu, karena itu pertama kali seumur hidup saya berada di bandara hanya bertiga.

Kalau masih ada bapak, meski ada badai menghadang, bapak akan marah kalau liat anaknya sendirian kembali ke Surabaya tanpa dianter di bandara.

Tapi itu belum seberapa.

Sejak saat itu, mama berhenti membalas pesan saya.

Saya sempat beberapa kali menelpon, nggak diangkat.

Berkali-kali mengirimkan SMS nggak dijawab.

Bahkan ada yang lebih bikin hati saya menangis sesedih mungkin, yaitu ketika saya sudah membeli papan nama makam bapak, dan berpesan kepada kakak ipar untuk disampaikan ke mama, agar nggak perlu beli papan nama, karena saya udah beli.

Tapi tak lama kemudian, dengan sangat hati-hati kakak ipar menyampaikan bahwa makam bapak udah jadi, dan papan namanya udah dibelikan mereka dan dipasang.

Ya Allaaaaahhh sedihnyaaaa minta ampun.

Sejak saat itu, sampai akhir tahun 2024 lalu, nggak pernah ada kabar dari mereka, jangankan mau bantuin duit, balas pesan saya enggak.

Saya tahu, tak pantas untuk dendam ke ortu, tapi jujur hati ini terlalu luka, sehingga sekarang tuh ibarat saya kehilangan chemistry dengan mama sendiri.

Dan memang sih, itu bukan pertama kali mama mengabaikan saya. Ketika lulus kuliah dan saya memilih kembali ke Surabaya, selama setahun saya nganggur, nggak ada support sama sekali dari mama.

Si pacarlah yang mendukung saya selama setahun, dia bayarin kos saya, cariin duit buat makan dan kebutuhan saya, sehingga saya nggak sampai jual diri buat bertahan hidup.

Lalu, ketika saya udah bucin banget sama si pacar, mereka menyalahkan saya yang katanya bodoh. Tanpa mereka sadari, merekalah yang menciptakan saya menjadi bucin ke lelaki dan orang lain.

Saya sebenarnya udah mencoba berdamai, tapi jujur selalu ketriger ketika berhadapan dengan sikap sensitif mama.

Apalagi dengan keadaan seperti ini, berbulan-bulan saya jadi pengangguran, terus diomelin bilang jangan boros mulu, padahal yang dibeli ya semua kebutuhan juga.

Ye kan, mending terlihat boros tapi ada pemasukan, ketimbang hidup irit tapi nggak ada pemasukan sama sekali.

Seirit apapun sampai menimbulkan luka batin ke anak, pasti ya akan habis juga duitnya kalau enggak ada pemasukan.

Dan sikap mama yang perhitungan itulah bikin saya makin ketriger. Dia yang kesal saya nggak bisa biayain anak-anak secara penuh dan merasa dia nggak bisa nabung buat umroh, bikin saya makin terluka dengan perhitungannya.

Apalagi setelah dia mengatakan ke kakak saya, menyalahkan kakak saya karena memaksa dia untuk memanggil saya pulang.

Saya akhirnya tahu, ternyata bukan mama yang kasian pada anak perempuannya yang terlunta-lunta di Surabaya. Mama memanggil saya pulang karena disuruh bahkan didesak kakak saya.

Dan dia sangat nurut ke kakak saya, karena kakak saya sering ngasih dia uang.

Sebelum saya pulang, sebenarnya saya udah jujur ke mama, kalau saya nggak punya pemasukan jika pulang ke Buton, karena sulit untuk profesi saya sebagai blogger hidup di pedalaman begini.

Dan saya juga menekankan, kalau udah pulang ke Buton, keluarga harus komitmen menanggung biaya hidup saya dan anak-anak dulu secara full. Karena semakin malaslah papinya anak-anak peduli sama anaknya.

Dan terbuktikan?.

Sejak Januari sampai lebaran kemaren di bulan Mei atau April ya kemaren itu, papinya anak-anak nggak mau sama sekali mengirimkan uang sepeserpun. Anak-anak lebaran dengan uang dari kakak saya.

Hal ini bikin mama saya naik darah, karena uangnya habis.

Dan karena itu juga saya nggak pernah bisa fokus mencari kerjaan atau peluang di luar, ya karena kalau saya main ke rumah teman, disuruh cepat pulang karena mama naik tensinya.

Saya merasa kayak dipasung dan diberi tugas menjaga mama, tapi selalu disalahkan karena nggak bisa menghasilkan uang.

Kalau bisa memilih, saya pilih kasih uang aja ke mama, bayar orang, karena saya masih sibuk cari uang. Sungguh loh, lelah fisik dan mental hidup dekat mama, karenanya saya merindukan Surabaya.

Ah begitulah.


Buton, 02-07-2025

Posted in  on Juli 02, 2025 by Reyne Raea |