Senin, 30 Juni 2025

Ketika Harus Melepaskannya Kembali

Dear diary-nya Rey,

Ceritanya sekarang tuh saya lagi sedih dan galau. Semalam akhirnya saya berani untuk tegas pada seseorang yang salah datang ke hidup saya.

Seperti biasa, dia setuju, tapi saya mendengar nada kemarahan seperti yang lalu.

Sedih, karena merasa mengulang kisah lama.

Ceritanya, dulu saya pernah sengaja mendekati lelaki itu, ketika lulus STM. Sebenarnya tak ada perasaan yang gimana-gimana padanya, saya hanya kesal karena dia nggak sopan pada saya ketika saya sedang tidur, dan dia tak meminta maaf untuk itu.

Dia hanya diam, seolah-olah nggak terjadi apa-apa.

Padahal sahabat karib saya yang menjadi saudara sepupu si laki tersebut mengatakan kalau dia melihat sendiri tuh laki melakukan sesuatu kepada saya.

Karena dia diam, saya kesal dan menuliskan surat yang intinya mengatakan kalau saya menyukai dia. Jawabannya melebihi ekspektasi, dia bilang juga menyukai saya sejak pandangan pertama. Dia juga meminta maaf atas perlakuannya yang tidak sopan ketika saya sedang tidur.

Akan tetapi, dari sinilah masalah itu terjadi, dia terlanjur jatuh cinta ke saya, sementara saya kan memang sejak awal nggak punya perasaan lebih, hanya kesal dengan sikap tak sopannya.

Jadinya, setelah itu saya pergi meninggalkannya, kebetulan saat itu saya ke Surabaya dan ternyata kuliah di sana. Awalnya sih komunikasi kami masih terjalin. Saya yang memang sejak dulu sulit mengatakan tidak, kebingungan untuk jujur akan semua yang terjadi.

Awalnya saya masih setia menerima telpon darinya, menerima surat-suratnya, tersenyum membaca kata rindu darinya, tapi hati memang tak bisa bohong, saya nggak bisa menerimanya secara utuh.

Sampai akhirnya saya lelah menyimpan perasaan nggak nyaman, dan akhirnya sayapun berterus terang atas semuanya.

Saya udah benar-benar melupakan hal-hal detailnya, tapi kalau nggak salah saat itu dia marah besar. Tapi saya menerima kemarahannya, dan meminta maaf atas semua yang terjadi.

Bertahun-tahun kemudian, saya lulus kuliah dan kembali ke daerah ortu. Mendengar kepulangan saya, dia kembali bersemangat untuk menelpon saya. Ketika itu, dia tak ada di kota ortu karena sedang di tempat tugasnya.

Dia memanfaatkan setiap subuh untuk menelpon saya, dan saya yang nggak bisa berkata tidak, lagi-lagi menerima semua telponnya.

Hati tak bisa dibohongin, akhirnya saya merasa risih dengan telponnya, dan kebetulan saat itu saya nggak betah, akhirnya kembali ke Surabaya.

Singkat cerita, komunikasi kami kembali terputus, sampai suatu hari saya mendengar dia akhirnya bertunangan, lalu kemudian menikah dan memiliki anak-anak yang lucu.

Ketika mudik ke Buton, saya sering bertemu dengannya, dan saya harus menerima sikap cueknya yang bahkan tak mau sedikitpun menatap wajah saya.

Sampai akhirnya saya mudik ketika bapak meninggal, ketika itu dia akhirnya jujur kalau masih punya perasaan pada saya. Tentu saja saya menolak meski dengan semua paksaan memelasnya.

Saya kembali ke Surabaya, dia sempat menghubungi sesekali, namun kemudian kami lost contact lagi. 

Awal Januari tahun ini, saya kembali ke Buton, bertemu lagi dengannya. Awalnya sih semua baik-baik saja, dia bersikap dengan normal, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sampai suatu hari, kami bertemu lagi, tanpa sengaja dia menatap wajah saya, setelah sebelumnya dia selalu membuang muka ketika bertemu.

Setelah itu, dia mulai mendekat lagi, mengatakan bahwa dia masih merindukan saya. Diam-diam memberikan perhatian.

Tapi kali ini berbeda, mungkin karena keadaan saya yang sedang terluka dan kesepian, tiba-tiba saya merasa nyaman dengan semua perhatiannya.

Untungnya, saya masih disayang Allah, saya tahu semua ini salah.

Sudah terlambat untuk semuanya, kami memang ditakdirkan untuk tak pernah bisa bersama. Dia sudah menjadi milik orang, sayapun masih terikat dengan orang lain.

Tak ada jalan untuk bersama, meski dia menawarkan hal yang nyaman, tapi semua itu ilusi.

Dan begitulah, semalam saya memberanikan diri untuk bertanya, sampai kapan dia seperti ini?. Bertanya, sampai kapan dia akan merasa bosan denganku?.

Jika memang ada jangka waktunya, tak masalah saya menunggu. Tapi dia tak memberikan jawaban untuk itu, sehingga saya memberanikan diri untuk tegas.

"Kalau kamu nggak pernah bosan, ya udah saya aja yang bosan!"

Terdengar helaan nafas berat, suaranya pun berat, intinya akhirnya dia menyetujui, mesti saya mengenal suara itu, suara kecewa seperti dahulu ketika saya memutuskan untuk jangan lagi ada komunikasi.

Dia langsung menutup percakapan tanpa meminta persetujuan saya.

Dan saya lega, namun anehnya tiba-tiba saya merasa sangat bersedih.

Saya merasa sungguh jahat, kembali mengulang masa lalu. Di mana selalu meng-cut hubungan ketika dia sedang berbunga-bunga.

Tapi, saya pikir ini adalah yang terbaik, mengakhiri sebelum semuanya terlanjur lebih jauh. Karena kali ini berbeda dengan yang lalu, di mana dulunya hanyalah perasaan dua orang manusia yang masih labil, kali ini lebih serius karena statusnya udah beda.

Jadi ya gitu deh, tiba-tiba semalam jadi galau, nggak bisa ngapa-ngapain, rasanya kosong dan sakit. Seumur-umur kayaknya baru kali ini saya merasakan hal seperti ini.

Mungkin ini kali ya yang namanya patah hati, bahkan ketika suami sendiri mulai membiarkan saya sendiri menghadapi hidup, rasa sakitnya tidak seperti ini.

Mungkin karena pak suami melakukan dengan bertahap, jadi hati saya mati perlahan-lahan. Yang ini di-cut langsung tanpa jeda, seolah belum sempat berkembang sempurna, lagi-lagi kena cut.

Jadi sepertinya hati saya terasa sakit antara terpaksa menghilangkan rasa nyaman yang datang di waktu yang benar-benar sedang dibutuhkan, ditambah dengan rasa bersalah.

Tapi tak mengapa, saya pikir ini akan berlalu. Meskipun saya juga tahu semua tak mudah, karena saya masih harus sering bertemu dengannya.

Namun, waktu katanya akan menghapus segalanya. Bahagia, sedih, senang, kecewa, sakit dan segalanya.

Semoga ya.


Buton, 30-06-2025

Posted in  on Juni 30, 2025 by Reyne Raea |